Beranda | Artikel
Sebelas Renungan Ketika Dizalimi: Renungkan Hal Ini Sebelum Membalas Dendam (Bag. 2)
9 jam lalu

Keadaan dizalimi adalah potongan kehidupan yang teramat pahit dirasakan oleh setiap orang. Kondisi terzalimi bahkan dapat membuat orang futur dan menjauh dari manisnya iman. Padahal, orang yang terzalimi dapat meraup banyak keuntungan yang dapat melupakan kerugiannya di dunia. Namun, karena ketidaktahuan serta lemahnya jiwa, maka tak sedikit yang jatuh ke dalam jurang kekecewaan. Akhirnya dari korban kezaliman, justru berbalik menjadi pelaku kezaliman.

Oleh karena itu, penting bagi kita untuk mengilmui hal-hal yang bisa menjadi pengobat hati yang tersakiti karena dizalimi. Ibnul Qayyim rahimahullah memiliki 11 perenungan yang dapat menjadi pengobat bagi orang yang dizalimi. Dalam artikel ini, akan dibahas lanjutan poin kelima yang dapat direnungkan.

Berbuat ihsan kepada yang menzaliminya

Level yang lebih tinggi dari rida ketika ditakdirkan dizalimi adalah membalas orang zalim dengan perbuatan ihsan. Ini levelnya Nabi Muhammad ﷺ ketika dizalimi. Nabi kita alayhi shalatu wa salam adalah teladan sikap rahmat yang luar biasa. Beliau ﷺ memiliki kecintaan dan kebijaksanaan yang luar biasa besar bahkan kepada para musuhnya.

Ketika di Thaif, saat berusaha mendakwahkan kebenaran, Nabi ﷺ justru diusir dan dilempari batu. Padahal, Thaif adalah kampung ibunya, sehingga masih ada tutur keluarga yang terhubung kepada baginda Nabi. Keadaan ini membuat hati Nabi ﷺ sedih sekali, bahkan lebih pahit dibandingkan tragedi Uhud. Sampai-sampai malaikat penjaga gunung menawarkan diri untuk membalaskan tindak zalim mereka. Namun, Nabi ﷺ tidak sekadar menahan diri untuk membalaskan dendam, tetapi juga mendoakan kebaikan yang luar biasa buat mereka.

بَلْ أَرْجُو أَنْ يُخْرِجَ اللَّهُ مِنْ أَصْلَابِهِمْ مَنْ يَعْبُدُ اللَّهَ وَحْدَهُ لَا يُشْرِكُ بِهِ شَيْئًا

“Tidak, namun aku berharap supaya Allah melahirkan dari anak keturunan mereka ada orang-orang yang beribadah kepada Allah semata, tidak mempersekutukan-Nya dengan apapun jua.” (HR. Bukhari no. 3231 dan Muslim no. 1795)

Jika kita menelaah, Nabi ﷺ dapat membalaskan dendam dengan sangat sempurna. Beliau memiliki alasan yang sangat jelas, logis, dan valid secara perasaan bahwa hal itu begitu menyakitkan. Tidak hanya itu, bahkan Nabi ﷺ tidak perlu berusaha keras untuk membalaskan dendamnya, cukup malaikat penjaga gunung membalikkan tanah atau gunung untuk penduduk negeri Thaif. Namun, Nabi ﷺ tidak memilih jalan itu. Justru beliau mendoakan kebaikan bagi penduduk Thaif.

Episode keteladanan Nabi ﷺ dalam berbuat ihsan kepada para penzalimnya tidak hanya sampai kisah Thaif. Ada banyak kisah, di antaranya adalah sikap Nabi ﷺ kepada Abu Sufyan ketika pembukaan kota Makkah, termasuk kepada Hindun yang telah memakan hati syuhada Uhud, yakni Hamzah Asadullah. Dan masih banyak lagi keteladanan Nabi ﷺ dalam berbuat ihsan tersebut, khususnya pada episode Fathu Makkah dimana Nabi ﷺ memaafkan seluruh penduduk Makkah khususnya yang pernah menzaliminya di kala mendakwahkan tauhid di sana.

Bila Nabi ﷺ mengedepankan dendamnya, tentu Makkah akan banjir darah. Nabi ﷺ memiliki pasukan lengkap, sementara penduduk Makkah -khususnya para musuh dakwah- sudah tidak punya kuasa apa-apa. Namun, rahmat Nabi ﷺ kepada para musuhnya memustahilkan pertumpahan darah yang lebih banyak. Bahkan justru menjadi pintu hidayah bagi banyak sekali kaum muslimin.

Hal yang hendak ingin penulis sampaikan adalah bahwasanya berbuat ihsan kepada orang yang menzalimi itu sangat memungkinkan. Ada banyak contohnya dan di antaranya dari Nabi ﷺ. Dan amalan ini adalah amalan berpahala besar dan berlevel tinggi. Jelas amalan sayyidul mursalin memiliki bobot yang luar biasa.

Ibnul Qayyim rahimahullah memberikan analogi yang membuat amalan membalas dengan ihsan kepada orang yang menzalimi kita menjadi logis. Orang yang berbuat zalim kepada kita ibaratkan orang miskin yang memberikan seluruh harta yang dimilikinya kepada kita. Orang zalim adalah orang yang merugi, ia tidak hanya mendapatkan dosa, tetapi ia memberikan pahalanya kepada orang yang dizaliminya. Maka, tentu sangat layak bagi kita untuk memberikan ucapan terima kasih dan timbal balik kepada orang yang memberikan pahalanya. Apalagi pahala adalah harta yang sangat berharga di hari di mana uang tidak lagi berlaku. Oleh karena itu, berbuat ihsan kepada mereka orang yang merugi dan mendonasikan kebaikannya kepada kita adalah hal yang sangat wajar.

Terlebih lagi jika kita mengingat kaidah,

الْجَزَاء مِنْ جِنْسِ الْعَمَلِ

“Balasan sesuai dengan jenis perbuatan.”

Maka, kita akan sadari bahwa kezaliman akan dibalas kezaliman oleh Allah ﷻ langsung. Sedangkan kebaikan pun akan dibalas kebaikan pula oleh Allah ﷻ langsung. Inilah pilihan bagi yang dizalimi; maukah anda menjadi orang yang akan dibalas pula dengan berbuat zalim lagi, atau justru ingin mendapatkan balasan kebaikan dari Allah ﷻ Al-Muhsin?

Ketika hatinya disakiti, ia tidak sibuk memikirkannya sehingga menjadi lebih produktif

Renungan selanjutnya adalah alasan lain agar kita tidak perlu mendendam kepada orang yang menzalimi kita. Ketika sibuk memikirkan sakitnya hati dizalimi, maka itu akan mendorong pikiran untuk merencanakan balas dendam. Langkah itu akan memakan waktu produktif serta melemahkan jiwa yang berdampak kepada badan yang tidak berdaya. Ini adalah kerugian yang teramat besar. Sudahlah hati terluka dan hak kita terlalaikan, lebih lagi jika waktu dan potensi badan yang dikorbankan. Sungguh betapa besar kerugian dari hal ini.

Para ulama salaf dulu mengingatkan [1],

وَالْوَقْتُ أَنْفَسُ مَا عَنَيْتَ بِحِفْظِهِ

“Waktu adalah perkara paling mahal yang perlu engkau perhatikan untuk dijaga.”

Al-Hasan Al-Bashri rahimahullah berkata,

يا اِبْنَ آدَمَ إِنَّمَا أَنْتَ أَيَّامٌ كُلَّمَا ذَهَبَ يَوْمٌ ذَهَبَ بَعْضُكَ

“Wahai Bani Adam (manusia), kamu itu hanyalah (kumpulan) hari-hari, tiap-tiap satu hari berlalu, hilang sebagian dirimu.”

Nabi ﷺ pun pernah mengingatkan bahwa waktu dan kesempatan dengan fisik yang sehat adalah sebuah nikmat yang sering kita lupakan. Nabi ﷺ bersabda,

نِعْمَتَانِ مَغْبُونٌ فِيهِمَا كَثِيرٌ مِنْ النَّاسِ الصِّحَّةُ وَالْفَرَاغُ

“Dua kenikmatan, kebanyakan manusia tertipu pada keduanya, (yaitu) kesehatan dan waktu luang.” (HR. Bukhari no. 5933)

Ketika badan sehat dan waktu luang justru dipakai untuk memikirkan rasa sakit hati dan dendam yang mengakar, maka ini adalah kerugian besar. Bagian diri kita akan hilang dan tak bisa kembali, sementara ini adalah kenikmatan yang teramat besar dan terbatas jumlahnya.

Kesedihan yang berlarut akan membuat seseorang tidak bersemangat beramal dan membuka celah-celah keburukan. Inilah yang dikatakan Ibnul Qayyim rahimahullah bahwa kesedihan mukmin adalah hal yang dicintai setan karena daya rusaknya yang amat besar. Beliau berkata,

الحُـزن يُضعف القَلب , ويُوهن العزم، ويَـضـر الإرادة ولا شَـيء أحَـب إلَـى الشيطَـان من حُـزن المُـؤمن

“Kesedihan itu melemahkan hati, melemahkan tekad, dan merusak kehendak. Tidak ada sesuatu yang lebih dicintai oleh setan daripada kesedihan seorang mukmin.” (Thariqatul Hijratain, hal. 279) [2]

Dalam keterangan di Madarij, Ibnul Qayyim mengumpulkan keuntungan dari tidak memikirkan dendam sebagai berikut,

وَيَرَى أَنَّ سَلَامَتَهُ وَبَرْدَهُ وَخُلُوَّهُ مِنْهُ أَنْفَعُ لَهُ وَأَلَذُّ وَأَطْيَبُ وَأَعْوَنُ عَلَى مَصَالِحِهِ

“Dan seseorang yang memandang bahwa keselamatan, ketenangan, serta terbebas dari memikirkan dendam itu lebih bermanfaat baginya, lebih lezat, lebih baik, dan lebih membantu dalam mewujudkan maslahat-maslahatnya.” (Madarijus Salikin, 2: 304)

Seseorang merasa aman ketika tidak mendendam dan berniat membalas orang yang menyakitinya

Wahai orang yang berakal! Renungilah bahwa jika hati penuh dendam kepada penzalim, maka anda akan membalas tabuhan genderang perang. Sedangkan peperangan hanya akan menambah dan menguatkan posisi musuh, setidaknya dalam pikiran. Seorang yang berakal tidak akan pernah menganggap sepele para musuhnya. Sehingga hatinya penuh dengan kewaspadaan bahkan was-was.

Sedangkan bila anda memaafkannya, maka hati anda lapang. Peperangan yang diserukan pun berakhir. Hati tidak tersibukkan untuk membalas serangan dan kembali kepada level produktif. Ingatlah firman Allah ﷻ berikut,

قال الله تعالى:خُذِ ٱلۡعَفۡوَ وَأۡمُرۡ بِٱلۡعُرۡفِ وَأَعۡرِضۡ عَنِ ٱلۡجَٰهِلِينَ

“Jadilah engkau pemaaf dan suruhlah orang mengerjakan yang ma’ruf, serta berpalinglah dari orang-orang yang bodoh.” (QS. al-A’raaf: 199)

Berpaling dari orang bodoh dan yang berbuat bodoh adalah perintah Allah ﷻ yang bernilai pahala dan mengandung hikmah yang besar. Al-Qurthubi menjelaskan dengan baik sekali tentang hal ini agar kita tidak ikut berlaku bodoh. Karena menyikapi atau membalas orang bodoh–orang zalim adalah orang yang melakukan kebodohan–adalah sebuah perbuatan bodoh. Al-Qurthubi rahimahullah menjelaskan,

وَفِي قَوْلِهِ (وَأَعْرِضْ عَنِ الْجاهِلِينَ) الْحَضُّ عَلَى التَّعَلُّقِ بِالْعِلْمِ، وَالْإِعْرَاضُ عَنْ أَهْلِ الظُّلْمِ، وَالتَّنَزُّهُ عَنْ مُنَازَعَةِ السُّفَهَاءِ، وَمُسَاوَاةِ الْجَهَلَةِ الْأَغْبِيَاءِ، وَغَيْرُ ذَلِكَ مِنَ الْأَخْلَاقِ الْحَمِيدَةِ وَالْأَفْعَالِ الرَّشِيدَةِ

“Dan dalam firman-Nya, “Dan berpalinglah dari orang-orang yang jahil”; terdapat anjuran untuk berpegang teguh kepada ilmu, berpaling dari orang-orang zalim, menjauhi diri dari berselisih dengan orang-orang bodoh lagi dungu dan menyerupai mereka, dan berbagai akhlak terpuji serta perbuatan yang bijak lainnya.”

Renungan ketujuh ini sangat berhubungan erat dengan renungan kelima yang mendorong kita untuk berbuat ihsan. Tidaklah kita bisa membalas orang zalim dengan pemaafan ataupun dengan hal yang lebih baik kecuali kita mengetahui hakikat dari episode kezaliman itu. Dengan mengetahui bahwa episode kezaliman itu adalah ranah pertarungan yang penuh kebodohan dan kerugian, maka akan dengan senang hati bagi kita untuk keluar dari ranah tersebut dengan cara memaafkan atau berbuat ihsan. Dengan begitu, kita sadar bahwa keluar dari praktik saling balas dendam kezaliman adalah bentuk melahirkan keamanan dan kelapangan hati. Terlebih lagi, ganjarannya luar biasa besarnya sebagaimana firman Allah ﷻ,

فَمَنۡ عَفَا وَأَصۡلَحَ فَأَجۡرُهُۥ عَلَى ٱللَّهِۚ

“Barang siapa memaafkan dan berbuat baik, maka pahalanya atas (tanggungan) Allah.” (QS. Asy-Syura: 40)

Dalam berjihad pasti dizalimi, maka tidak perlu membalas dengan alasan jihad karena jiwa mujahid telah dibeli Allah ﷻ dengan harga mahal

Apabila kezaliman manusia kepadanya itu lahir dari jihadnya di jalan Allah, sebab amar ma‘ruf nahi munkar yang ia lakukan, serta karena upayanya menegakkan agama Allah, maka ini adalah kabar gembira. Karena para Nabi, Rasul, dan para ulama pasti akan menghadapinya. Allah ﷻ berfirman,

وَكَذَٰلِكَ جَعَلْنَا لِكُلِّ نَبِىٍّ عَدُوًّا شَيَٰطِينَ ٱلْإِنسِ وَٱلْجِنِّ يُوحِى بَعْضُهُمْ إِلَىٰ بَعْضٍ زُخْرُفَ ٱلْقَوْلِ غُرُورًا

“Dan demikianlah, Kami jadikan bagi tiap-tiap nabi itu musuh, yaitu setan-setan (dari jenis) manusia dan (dan jenis) jin, sebagian mereka membisikkan kepada sebagian yang lain perkataan-perkataan yang indah-indah untuk menipu (manusia).” (QS. Al-An’am: 112)

Ketahuilah! Ini adalah bagian dari jihadnya seorang mujahid. Mereka yang dizalimi karena menegakkan agama Allah ﷻ sungguh telah menjual dirinya, hartanya, dan kehormatannya kepada Allah dengan harga yang paling agung. Harga itu digapai dengan merasa tidak punya hak menuntut orang yang menyakitinya, dan tidak punya tuntutan apa pun terhadap mereka. Karena sesungguhnya pahala baginya telah tetap di sisi Allah. Oleh karena inilah, Nabi ﷺ melarang kaum Muhajirin untuk berharap agar harta mereka yang telah dirampas oleh orang-orang kafir dapat kembali.

[Bersambung]

Kembali ke bagian 1

***

Penulis: Glenshah Fauzi

Artikel Muslim.or.id

 

Catatan kaki:

[1] Nukilan ini banyak didapatkan dari Referensi: https://almanhaj.or.id/72081-renungan-tentang-waktu.html

[2] Thariqatul Hijratain, hal. 279 cet. Darus Salafiyah via maktabah syamilah: https://shamela.ws/book/12029/294


Artikel asli: https://muslim.or.id/110772-renungan-ketika-dizalimi-bag-2.html